Rabu, 28 September 2011

Kerajaan Luwu dan Kebudayaan Keris

Mungkin para pembaca pernah dengar bahwa awal mula berdirinya kerajaan luwu, bersamaan dengan lahirnya kebudayaan metalurgi khususnya pemakaian besi untuk senjata-senjata pusaka dan sebagainya.. dimana salah satu besi yang dianggap bertuah dan paling dicari adalah besi Luwu (bessi Ussu). 


ada beberapa versi mengenai hal tersebut, diantaranya adalah .konon pembuatan keris atau senjata pusaka pada jaman itu adalah jenis senjata berpamor, yang mana bahan tersebut salah satunya adalah besi Ussu dari Luwu yang banyak mengandung meteorit dan nikel, sehingga besi Luwu (ussu) menjadi bahan pamor utama pembuatan dalam pembuatan keris, dalam buku Ensiklopedi Keris disebutkan bahwa besi Luwu dipasaran dikenal dengan nama Bessi Pamorro, sampai dengan tahun 1920 masih dijumpai di pasar Salatiga dengan harga perkilo setara dengan 50 kg beras
Senjata berpamor pada umumnya untuk keperluan senjata pusaka karena dipercaya memiliki kelebihan2 yang berhubungan dengan aura kepemimpinan,... selain besi pamor.. di Luwu juga dikenal besi khusus untuk berperang namanya besi Ponglejing yang banyak dipergunakan sebagai senjata perang khususnya dari suku To Rongkong

Versi lain mengatakan bahwa Sebagai mana diketahui, pulau Sulawesi adalah salah satu pulau terbesar digugusan kepulauan nusantara. Nama Sulawesi juga telah menjadi misteri tentang siapa yang pada awalnya memberikan nama pulau ini menjadi pulau Sulawesi. Akan tetapi besar dugaan bahwa orang yang bersejarah memberikan nama pulau ini sebagai Sulawesi yaitu Prof.Moh.Yamin sebagai ganti dari nama yang sebelumnya yaitu Celebes yang dikenal pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Sebenarnya nama Celebes pada awalnya dikenalkan oleh seorang yang berkebangsaan Portugal yang bernama Antonio Calvao pada tahun 1563 .Celebes oleh Antonio Calvao dimaksudkan sebagai ” ternama” atau tanah yang makmur yang terletak digaris Khatulistiwa. Celebes bagi orang Belanda menyebutnya dari kata Cele Besi yaitu Cele ( Keris,badik atau kawali)`yang dibuat dari Bessi`( Bugis). Sebuah anekdot dalam masyarakat yang konon menurut cerita yang dituturkan oleh seorang Belanda yang bertanya kepada seseorang yang secara kebetulan seorang bugis .Orang Belanda bertanya tentang nama tempat atau pulau, akan tetapi disalah artikan oleh orang Bugis yang menurut sangkaannya orang Belanda tersebut menanyakan nama senjatanya, lalu dijawabnya sele (keris) bessi (besi). Terlepas atas kebenaran cerita tersebut tetapi kenyataannya pulau Sulawesi sejak dahulu adalah penghasil bessi (besi), sehingga tidaklah mengherankan Ussu dan sekitar danau Matana mengandung besi dan nikkel. Bessi Luwu atau senjata Luwu (keris atau kawali) sangat terkenal akan keampuhannya, bukan saja di Sulawesi tetapi juga diluar Sulawesi, sehingga seorang novelis terkemuka Kho Ping Ho (Asmaraman) menggambarkannya dalam cerita ” Badai di laut Selatan”didalamnya diceritakan kehebatan atau keampuhan Keris Brojol Luwu yang kini telah menjadi pusaka kerajaan Airlangga.

adapun yang mengatakan bahwa asal usul pulau sulawesi adalah Sulawesi, adalah nama sebuah pulau yang berada di tengah-tengah Indonesia. Bentuknya cukup unik, seperti huruf K dan dilalui oleh garis meridian 120 derajat Bujur Timur, dan juga terhampar dari belahan bumi utara sampai selatan. Menurut wikipedia, nama Sulawesi kemungkinan berasal dari kata ‘Sula’ yang berarti pulau dan ‘besi’ yang menurutnya banyak ditemukan di sekitar Danau Matana. Pada dokumen dan peta lama, pulau ini dituliskan dengan nama ‘Celebes’. Waktu saya kecil, saya pernah mendengar hikayat tidak resmi tentang asal usul nama ‘Celebes’ ini, yang mungkin saja benar. Hikayat ini dalam Bahasa Bugis…

Wettu rioloE, wettu pammulanna engka to macellaE gemme’na, no pole lopinna ri birittasi’E, lokka i makkutana ko to kampongE. To kampong E wettunna ro, na mapparakai lopinna, masolang ngi engsele’na. Na wettunna makkutana i to macella’E gemme’na, to kampong E de’ na pahang ngi, aga hatu na pau. Kira-kira pakkutanana yaro to macella’E gemme’na, mappakkoi: “Desculpar-me, qual é o nome deste local?” Yero to kampongE, naaseng ngi kapang, “agatu ta katenning?”. Mabbeli adani to kampongE, “Sele’bessi”. Pole mappakoni ro, na saba’ asenna ‘Celebes’.

Terjemahan bebas: Pada waktu lampau, pada saat pertama kali rombongan orang yang berambut merah turun dari perahu dan menghampiri penduduk setempat yang sedang bekerja membuat perahu. Pimpinan rombongan tersebut bertanya mungkin dalam bahasa Portugis yang tidak dimengerti, mungkin bertanya ‘Apa nama tempat ini?’ Penduduk yang ditanyai, karena tidak paham, hanya mengira-ngira mungkin dia ditanya benda apa yang sedang dia pegang? Dengan spontan penduduk tersebut menjawab ‘Sele’bessi’ yang artinya engsel besi. Sejak saat itu, pimpinan orang yang berambut merah mencatat lokasi yang mereka datangi bernama daerah ‘Celebes’.

Salah satu ekspedisi ilmiah dunia terkait dengan Sulawesi dilakukan oleh Alfred Russel Wallace yang mengemukakan suatu garis pembatas tentang flora dan fauna yang ada di Indonesia. Juga ekspedisi Snellius (Universitas Leiden) yang mempelajari tentang kondisi bawah permukaan sekitar Sulawesi sampai ke Maluku. Kedua ekspedisi ilmiah pada zaman tersebut menggunakan nama ‘Celebes’.

Yang menarik adalah masyarakat lokal pada waktu itu belum menyadari untuk memberikan nama ke pulau tempat mereka berdiam. Sehingga untuk hal ini, Celebes merupakan eksonim untuk pulau yang nyaris berbentuk huruf K ini. Dari Celebes ini kemudian berevolusi menjadi ‘Sulawesi’ yang menjadi endonim sampai saat ini.

tapi menurut Bapak Iwan Sumatri seorang arkeolog dari Unhas. Terkait penelitian peninggalan sejarah dan purbakala. Salah satunya adalah penelitian kerjasama Pusat Arkeologi Makassar dan The Australia National University dengan mengambil tema proyek “The origins of Complex Society in South Sulawesi (OXIS project)” yang dilakukan di kabupaten Luwu dan hasilnya ditulis dalam bukunya “Kedatuan Luwu”.
Dalam buku itu, disebutkan Kerajaan Luwu pernah memainkan peran penting pada periode keemasan Majapahit. Karena itu, nama Luwu tercatat dalam kitab Nagarakartagama yang selesai ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.

Diduga, Majapahit mengadakan kontak atau hubungan niaga dengan Kedatuan Luwu dikarenakan daerah ini memiliki sumber besi yang berkualitas baik, yang pada saat itu diperlukan oleh karajaan Majapahit untuk produk peralatan senjata/keris Jawa yang terkenal karena mengandung pamor Luwu.

Tempat yang diduga sebagai sumber bahan mineral adalah daerah Matano dan beberapa daerah di Limbong. Dalam laporan OXIS project dinyatakan:“The world’s largest nickel-mining complex is located in the southern bank of Lake matano, which has led to speculation that bickellifeous iron ore from the Matano area was smelted to produce the famous pamor Luwu used in Majapahit krisses”

Dari hasil ekskavasi atau penggalian yang dilakukan di sekitar Danau Matano 1998-1999, diketahui lokasi tersebut pernah menjadi sentra industri peleburan bijih besi dengan ditemukannya terak-terak besi yang melimpah. Bijih besinya sendiri antara lain diambil dari bukit-bukit di atasnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya ditemukan lubang-lubang bekas penambangan besi kuno di perbukitan utara Danau Matano (Bukit Latajang).

Lebih lanjut Pak Iwan-sapaan akrabnya- menyebutkan data-data pendukung bahwa Desa Matano pernah menjadi sentra industri dan pemukiman yang kompleks. Ditandai antara lain dengan adanya sisa benteng tanah dua lapis di sisi barat Desa Matano, mata air, batu dakon, situs pekuburan tua.

Rupanya Pak Iwan tidak puas hanya dengan bercerita. Beliaupun mengajak kami mengunjungi kompleks pekuburan Lakamandiu yang terletak di Bukit Pa’angkaburu, sekitar 10-an km dari Desa Matano.
Menurut Pak Iwan, yang juga ketua jurusan Arkelogi Unhas ini, Matano menjadi penting karena tradisi lisan banyak menyebutkan bahwa daerah perbukitan Danau Matano dipandang sebagai zona sumber bijih besi Luwu yang berkualitas dan kemungkinan besar pernah diekspor ke Jawa, dan diokupasi sejak sekurang-kurangnya abad XIV.

Bijih laterit yang kandungan besinya dikatakan sampai 50% serta nikel banyak ditemukan di atas muka tanah sekitar Danau Matano. Dari hasil ekskavasi yang telah dilakukan, temuan dominan di situs Matano berupa terak besi, arang, serpihan batuan lebih dari 700 buah dalam satu kotak ekskavasi yang berukuran 1×1 m. Serpihan batu ini diduga dipakai sebagai batu pematik api (batu api).

Temuan lainnya yaitu wadah tembikar polos maupun berhias, pipa tanah liat dan sebagainya. Bahkan, untuk pipa tanah liat ini ada dugaan digunakan untuk mengalirkan logam yang telah dicairkan karena ada indikasi lapisan cairan besi pada lekukan dalam.

Pada survey awal tahu 1995 oleh tim kecil yang dipimpin oleh David Bulbeck, ditemukan sisa-sisa tanah yang teroksidasi besi sepanjang tepi danau Desa Matano yang mengindikasikan sejarah yang panjang. Data lainnya berupa serpih batu (chert), fragmen gerabah hias dan polos. Selain itu diperoleh informasi adanya areal yang disebut Rahampu’u, artinya rumah pertama, yang merupakan cikal bakal pemukiman di Desa Matano.

Situs Nuha dan Pontanoa Bangka
Selain di Desa Matano, penggalian dilakukan pada tempat lain yang dianggap sebagai unit-unit pemukiman kuno di sepanjang penggiran Danau Matano, yaitu Nuha, Sukoyo, dan Pontanoa Bangka.

Disimpulkan Matano, Nuha dan Sukoyo untuk sementara diidentifikasi sebagai tempat hunian utama. Dalam konteks populasi pinggir danau, terutama bagi komunitas Nuha dan Sukoyo, dala situasi tersebut, paling representatif menggunakan Pontanoa Bangka sebagai tempat penguburan.

Pertanggalan mengenai tungku sisa-sisa pengolahan bijih besi yang ditemukan di Nuha menunjukkan bahwa sejak 1000-1500 tahun lalu masyarakat Nuha telah mengenal pengolahan bijih besi. Meskipun masih bersifat hipotesis tetapi kemungkinan besar pada masa itu masyarakat Nuha juga telah mengenal penempaan besi menjadi alat-alat kebutuhan sehari-hari, bukan mustahil juga dibuat untuk mensuplai permintaan pasar.

Diduga sekitar 1500 tahun yang lalu, kemungkinan besar masyarakat Nuha telah memiliki kontak dengan dunia luar. Jalan darat dapat mengitari bagian punggung pengunungan sekitar Danau Matano yang kemudian dapat menembus daerah seperti cerekang dan Ussu. Pada bagian utara Nuha, jalan darat dapat menghubungkan beberapa wilayah yang berbeda dalam kawasan pesisisr timur Sulawesi Tenggara dan Tengah.

Bukti kuat interaksi Nuha dengan wilayah luar, dengan ditemukannya sisa kain yang terbuat dari kapas serta manik-manik (dua diantaranya adalah dari bahan kornelian), diduga berasal dari pertengahan millennium pertama, yakni dari tahun 410-660 Masehi atau berumur ±1520 tahun yang lalu.

Jika benar pendapat bahwa Sriwijaya merupakan salah satu tempat tertua sentra industri manik kornelian antara abad VIII-XII, bukankah bahwa manik kornelian PB menunjukkan kronologi lebih tua, dan dengan begitu memberi gasasan pada kita untuk mempertanyakan; apakah manik tersebut merupakan benda impor yang sangat mungkin berasal dari India, langsung atau tidak langsung.
Demikian juga sisa kain, boleh jadi mewakili produk kain tertua yang penah itemukan di Indonesia dan merupakan jenis tekstil yang hanya diproduksi di India.

Meskipun letak geografisnya terpencil, namun terbukti, potensi sumber daya alam dan populasi yang telah menguasai keahlian dalam teknologi logam, memungkinkan daerah perbukitan Matano itu menjadi terbuka, setidaknya pernah menjalin hubungan eksternal dengan kelompok-kelompok komunitas lain dalam jaringan niaga maritim yang luas.

Hubungan itu menghidupkan arus komunikasi timbal balik dan saling ketergantungan. Jika demikian maka Nuha merupakan zona sumber alam potensial sehingga memungkinkan terjadinya barter ataupun bentuk-bentuk pertukaran kuno lainnya dari dan ke tempat ini.

Sayangnya, data arkeologi Nuha tidak tersedia cukup untuk memberi penjelasan kapan dan bagaimana pola perdagangan ataupun barter yang pernah terjadi. Tetapi kemungkinan sekali hal ini bermula dari hasil hutan seperti damar dan gaharu yang banyak ditemukan di sepanjang perbukitan dan lebah-lembah sekitar Danau Matano. Jenis interaksi ini kemudian memunculkan inovasi baru dalam bentuk pengolahan bijih besi dan besar kemungkinan menjadi komoditas utama mengikuti perkembangan pasar yang membutuhkan bahan baku pembuatan alat logam.

Pekuburan Pra Islam di Pontanoa Bangka
Pontanoa Bangka dalam bahasa lokasl berarti perahu yang ditenggelamkan ke dasar danau. Di situs ini terdapat lokasi penguburan pra islam.

Komposisi temuan ekskavasi dimulai dengan sebuah wadah gerabah yang di sekitarnya banyak ditemukan manik-manik. Di bagian bawah wadah ditemukan hamparan arang padat dan terkonsentrasi.
Pada kedalaman ±100 centimeter, ditemukan fotur yang berisi beberapa fragmen gelang dan cincin perunggu serta beberapa cangkang kemiri. Di kedalaman kurang lebih dua meter, ditemukan fitur lain yang berisi gelang, cincin, manik-manik, parang, kain dan tikar dari daun pandan/lontar(?) yang telah lapuk. Asosiasi ini kemungkinan besar merupakan satu set aksesoris perhiasan yang dibungkus dengan kain kemudian diletakkan di tas tikar bersamaan dengan parang.

Hasil analisis sejumlah sample temuan dari Pontanoa Bangka di laboratorium Australian National Universitas, Canberra, menunjukkan beberapa umur karbon. Sample arang, misalnya, yang dicuplik dari konteks kubur dengan wadah gerabah, menunjukkan pertanggalan 1000 BP. Sedangkan analisa sisa katun (kapas) serta arang dimana terdapat kubur tanpa wadah gerabah, menunjukkan pertanggalan 1500 BP atau sekitar 410-660 M.

Sementara pengajuan atas sisa pekerjaan besi dari Nuha memberi bukti tentang kegiatan olah logam tertua; pertanggalan arang yang tersisa pada tungku pembakaran menunjukkan umur 1000 BP. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa lapisan pertama (kubur dengan wadah) ada situs kubur Pontanoa bangka sejaman dengan pemukiman di Nuha.

dari hal diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa di masa silam telah ada populasi lokal yang cukup memiliki keahlian dalam teknologi logam yang selama beberapa abad pernah menjadi andalan ekonomi Luwu. Dan rasanya tak mengherankan jika dikekinian ada perusahaan raksasa, seperti PT Inco yang bercokol untuk menambang dan memanfaatkan potensi mineral tersebut. ***

Kitab Lagaligo bukan karya sastra orang Bugis

Kritik pedas yang dilontarkan Penulis buku “Gurita Cikeas” George Aditjondro dalam makalahnya berjudul: Terlalu Bugis Sentris-Kurang Perancis”, atas klaim orang Bugis terhadap Kitab Lagaligo, seperti termuat dalam buku “The Bugis”, karya Christian Pelras, patut dipertimbangkan oleh orang-orang Luwu (Bija To Luwu). Selama ini, Orang Luwu selalu berada dalam bayang-bayang suku bugis. Sebagian besar Bija To Luwu telah latah mengakui bahwa mereka adalah suku bugis, padahal dalam kesehariannya, mereka menggunakan bahasa TAE sebagai ciri khas kesukuan orang Luwu. Berikut 2 (dua) kutipan dari makalah tersebut yang patut direnungkan:
1. Dan pengamatan di Tana Luwu’ dan wawancara dengan sejumlah informan kunci, cukup jelaslah bagi saya bahwa orang Luwu’ atau To Luwu’, penduduk asli ketiga kabupaten ex-kerajaan Luwu’ (Luwu, Luwu Utara dan Luwu Timur) merupakan kelompok etno-linguistik (suku) sendiri, dan bukan sub-etnis Bugis. Bahasanya, bahasa Tae’, lebih dekat ke bahasa Toraja dari pada ke bahasa Bugis.
2. Klaim Bugis atas Luwu’, yang dicoba dilegitimasi oleh Pelras dengan mengklaim La Galigo sebagai karya sastra Bugis, sama absurdnya seandainya orang Jawa mengklaim Mahabharata dan Ramayana sebagai karya sastra Jawa. Atau sama absurdnya, seperti kalau orang Jerman mengklaim Homeros sebagai karya sastra Jerman kuno, dan tidak mengakuinya sebagai karya Yunani kuno. Makanya lebih tepat kalau dikatakan bahwa La Galigo menjadi landasan filosofis karya-karya sastra Bugis dan suku-suku lain di Sulawesi Selatan dan Barat.

Ternyata, George Aditjondro bukan orang pertama yang berpendapat demikian. Hampir seperempat abad silam, Andi Zainal Abidin, guru besar Fakultas Hukum Unhas, telah mengungkap hal tersebut dalam beberapa tulisannya, yang kembali dikutip George Aditjondro dalam makalah tersebut di atas.
 

BANYAK BUKTI
Saya sendiri justru penasaran dengan Kitab Lagaligo yang diklaim sebagai Karya Sastra Bugis. Saya mengembangkan sebuah pertanyaan, bagaimana mungkin Kitab Lagaligo itu dikatakan karya sastra Bugis, sementara pemerannya adalah Raja-raja Luwu, penutur rumpun bahasa TAE’? Saya pun berinisiatif mencari tahu melalui search google.
 
Jawaban pertama saya temukan dari pernyataan Muh. Salim -salah seorang penerjemah Sureq Lagaligo- bahwa Kitab tersebut berbahasa Proto Bugis (Bugis Kuno) bercampur bahasa Sansekerta. Dan menurutnya, hanya tersisa kurang lebih 100 orang saja di Sulawesi Selatan yang mengerti bahasa tersebut. Makanya, Muh. Salim butuh 5 tahun 3 bulan untuk menyelesaikan terjemahan yang seluruhnya berjumlah 300.000 baris yang terbagi dalam 12 Bab itu.
 
Dari pernyataan Salim ini, kita dapat mengembangkan logika: kalau Kitab tersebut berbahasa Bugis, tentu dia hanya butuh waktu sebulan untuk menyelesaikan terjemahannya. Tapi ternyata tidak. Salim yang berdarah bugis dan lancar berbahasa bugis ternyata butuh waktu lama dan kesulitan menerjemahkan Kitab tersebut.
 
Tapi, Saya tetap menggaris bawahi phrasa “Proto Bugis+Sansekerta” yang dikatakan oleh Muh. Salim. Saya coba telusuri melalui Genesis bahasa Austronesia. Masya Allah….., saya baru tahu kalau bahasa yang merupakan turunan terakhir di Sulawesi Selatan adalah bahasa Mandar dan Bugis. Kedua bahasa ini diturunkan dari bahasa Wolio (Buton). Bahasa Wolio sendiri adalah turunan dari bahasa Makassar. Dan bahasa Makassar adalah turunan campur (Indo) dari bahasa TAE’ (Luwu) dan Bahasa BARE’E (Sulawesi tengah). Sungguh mengejutkan!
 
Lalu apa alasan Muh. Salim menutupinya dengan “Proto Bugis” dan hanya tersisa 100 orang saja yang mengerti”? Hanya Allah dan dia saja yang tahu.
Saya belum puas sampai disitu. Saya berpikir bahwa untuk benar-benar memastikan Kitab Lagaligo itu bukan berbahasa Bugis, tapi berbahasa lain dan dari tempat asli di mana para pemeran dan episodenya berlangsung, yang harus saya lakukan adalah melihat langsung Kitab tersebut ke Perpustakaan Leiden Belanda. Jelas, suatu hal yang belum mampu saya lakukan, mengingat keterbatasan saya dalam hal finansial dan kapasitas keilmuan.
Tapi entah kenapa, seperti ada suara yang berbisik diteliga saya untuk mencari keterangan dari para pemerhati Lagaligo di Luar Negeri. Dalam benak saya, mereka (orang luar itu) tentu pernah menulis hal-hal terkait kitab tersebut, dan mereka tentu akan lebih objektif, semata hanya untuk pengembangan keilmuan, dan tidak ada tendensi dan pengaruh subjektifitas kesukuan. Toh mereka bukan orang Sulsel.
 
Dan benar saja, saya menemukan sebuah keterangan tambahan dari V. SIRK melalui tulisannya berjudul : On Old Buginese and Basa Bissu hal 235. Berikut kutipannya:
1. To determine the origin of the lexical layers formed basically by the words that Matthes marks with O.B. and with B.B. is a complicated problem. Here I am able to give some suggestion only regarding the first, "Old Buginese" layer. This layer has apparently been brought about by the "Lagaligo" tradition. As regards the original homeland of this tradition, there are various consideratios putting forward Luwu' region. However, such a hypothesis cannot as yet be founded linguistically : much more data about Buginese dialects and neighbouring languages are needed to prove it. Nevertheless, already at present it seems that there are isoglosses linking the "Old Buginese" layer with the languages of Central and Eastern Sulawesi. The following parallels are interesting : O.B. eyo 'day' — eo id. in a number of languages of Central Sulawesi (a specific development of the etymological rool * (q)ajaw); O.B. rananrir) 'wind' — ranindi 'cold' in Toraja languages ; O.B. tapide 'shield' — Bare'e (Pu'umboto dialect) tampide, Banggai tompide id. ; O.B. kunawe 'buffalo' — Bare'e (priests' language)
(Artinya: Untuk menentukan keaslian dari lexical yang melapisi pembentuk dasar kata-kata yang ditandai Matthes dengan O.B. dan B.B., adalah sebuah masalah yang complete. Disini, saya dapat memberi saran hanya mengenai “Bahasa Bugis Kuno” dulu. Adapun mengenai tanah air asli dari tradisi ini, ada begitu banyak pertimbangan di sepanjang wilayah Luwu. Namun demikian, sebagaimana halnya hipotesis-hipotesis yang belum dapat ditemukan secara linguistic: terlalu banyak data tentang dialek-dialek bahasa Bugis dan bahasa tetangga(nya) yang harus disediakan. Kendati demikian, kelihatannya telah ada batas pemisah yang jelas pada lapisan “Bahasa Bugis Kuno” dengan bahasa-bahasa di Sulawesi tengah dan Sulawesi bagian Timur).
2. Besides, it should not be forgotten that the origin of the linguistic standard of Buginese prose antedates Matthes's scarce notes about Buginese dialects
(Artinya: Disamping itu, jangan lupa bahwa standar linguistic asli dari prosa Bugis, lebih dulu ada daripada catatan langka Matthes tentang Dialek-dialek Bugis).

MENGAKHIRI KELATAHAN
Kutipan V. Sirk di atas cukup menggambarkan kepada kita bahwa orang luar pun sudah tahu di mana tempat asli dari Kitab Lagaligo itu dilahirkan, berikut bahasa yang digunakan dalam Kitab Lagaligo tersebut. Jelas bukan bahasa Bugis, tapi bahasa Luwu alias bahasa TAE’ yang belum diketahui dialek apa. Jadi, tunggu apalagi? Saya sendiri tetap berkomitmen untuk mengumpulkan data demi data untuk pembuktian tersebut. Dan insya Allah komitmen saya tidak akan padam, walaupun ada diantara kita sekalian (Bija To Luwu) bertanya-tanya: Apa perlunya?
Membuat Identitas sebagai Suku tersendiri akan menguntungkan orang Luwu ke depan, khususnya dalam bidang Pariwisata. Saat ini dunia sedang melek mata akan keagungan Sureq Lagaligo yang lebih panjang dari pada Kisah Mahabharata dan Ramayana dari India. Mereka sedang mencari-cari dari manakah asal muasal Kitab yang hebat itu. Tidak menutup kemungkinan, akan ada sutradara Hollywood yang tertarik menggarap kisah Sawerigading yang memiliki karakter yang lebih unik daripada Hercules, atau tokoh-tokoh Mythos lainnya di dunia. Jelas, itu hanya sebuah tips dan bukan tujuan utama jika kita memiliki identitas tersendiri.
Tapi, jika Luwu tetap mendompleng dalam bayangan identitas suku bugis, maka justru orang-orang Bugislah -yang secara geografis berada di wilayah BOSOWA- yang akan mengeruk keuntungan tersebut. Terbukti, pernah dilakukan ekspedisi arkeologi OXYS, di Sulsel untuk menelusuri perjalanan Kitab Lagaligo. Sayangnya, mereka tidak menemukan apa-apa, karena diarahkan ke Kecamatan Cenrana, Kab. Bone, oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
 
Terakhir, tak lupa peran penting 4 pemerintahan di Kabupaten Luwu, Kota Palopo, Luwu Utara dan Luwu Timur. 2 (dua) hal mendesak yang sebaiknya segera dilakukan untuk penyelamatan identitas kesukuan ini, yaitu:
1. Mengirim putra dan putri Luwu ke perpustakaan Leiden Belanda yang punya kapasitas keilmuan untuk melakukan translasi, transliterasi dan dokumentasi Sureq Lagaligo.
2. Mengembalikan Luwu dalam kondisi originality (keasliannya), minimal dalam berbahasa.
Sungguh pilu hati ini melihat begitu latah dan bangganya orang Luwu di Kota Palopo disebut sebagai orang bugis, sehingga slogan berbahasa bugis pun tertera di mana-mana. Wanua mappatuwo naewai alena, Toddopuli temmalara (ini sejak tahun 1946?), SaodenraE, SaokataE, dan lain lain. Nawawi S. Kilat dari Kec. Wotu Kab. Luwu Timur, bahkan sudah lebih dulu teriak agar nama Sungai Cerekang dikembalikan ke nama semula sesuai bahasa setempat menjadi Sungai Cerrea.
 
Semoga kelatahan ini segera diakhiri, dan kita menuju ke kondisi keaslian identitas kita sebagai Bija To Luwu.